Pages

Thursday, December 2, 2010

Karma

Karya : Izzatul Jannah

Tidak ada yang salah dari sosok laki-laki berusia tiga puluhan itu. Hidupnya cukup sukses untuk laki-laki seusianya. Ia memiliki jabatan penting di perusahaannya. Bahkan ia sosok yang nyaris sempurna dengan predikatnya yang juga sebagai seorang da’i. Maha Pemurah Allah yang telah memberinya kemudahan-kemudahan hidup.

Sungguh Maha Suci Allah yang telah memberinya putri-putri yang begitu membanggakan!Setiap kali kejuaraan digelar, setiap kali ranking kelas diumumkan, hamper pasti putri-putrinya yang mendapat perdikat-predikat terbaik. Belum lagi, istrinya yang memiliki kedudukan sosial yang cukup terhormat sebagai salah satu staf pengajar di perguruan tinggi negeri di kotaku.

Pak Sukarma. Tidak ada yang salah dengan laki-laki itu, ia begitu terhormat di mata pegawai-pegawainya, pantas dikagumi di kalangan rekan kerjanya, kecuali lidahnya yang tajam. Demi Allah tidak ada yang salah dengan sosok dirinya kecuali lidahnya. Lidah Pak Karma telah melibas belasan bahkan mungkin puluhan kali harga diri, martabat, bahkan kehormatan orang lain.

Ini bukan semata-mata ketersinggungan. Bukan semata-mata harga diriku sebagai seorang laki-laki diinjak-injak, tidak! Lebih dari itu. Lidah Pak Sukarma sudah merobek-robek persaudaraan, kehangatan, dan manisnya kasih sesama muslim, bahkan boleh jadi lidah Pak Sukarma sudah melecehkan kejujuran, kebenaran, yang konsekuensinya adalah berhadapan dengan Sang Pemilik Kebenaran. Terbayang sosoknya yang tinggi besar dengan mulut dan lidahnya berbusa-busa menjelaskan dan mentafsiri ayat-ayat Al-Qur’an dengan mata terbeliak dan kerut merut di dahi menandakan kesungguhan. Sementara saat itu juga aku merasakan hawa busuk kebohongan karena lidahnya yang merah tanpa tulang itu pula yang menari-nari kesana kemari menebar kebencian. Tiba-tiba aku merasa muak.

***
“Lho, Sri, kenapa?” tanyaku keheranan. Kulihat Sri tertelungkup di meja dekat toilet kantor.
Bahunya terguncang-guncang seperti sedang menangis hebat.

“Pak Kar…ma….., Mas….” Sahutnya lirih disela isak tangisnya. Aku terdiam. Jangan-jangan lidah laki-laki itu berulah lagi.

“Sri tahu … Sri tidak pantas menolak pria yang disodorkan Pak Karma untuk jadi suami Sri,… ta … ta…pi….tapi…tapi…,” Sri meledakkan tangisnya. Aku semakin mematung. Kucoba menghela nafas panjang. Tapi ya Allah … berat sekali. Pak Karma memang pernah ingin menjodohkan Sri – salah seorang pegawainya – dengan seorang laki-laki yang menurut Pak Karma pantas mendampingi Sri. Kata beliau, laki-laki itu jujur, sopan, seorang da’i yang tangguh …

Tapi Sri menolaknya. Dan bagi Pak Karma ini bukan sesuatu yang wajar untuk diterima.
Maka lidahnya sering beraksi, mengolok-olok, merendahkan bahkan terkesan menghina Sri. Hanya karena Sri menolak laki-laki pilihannya.

***
“Yaaaaaaa…. Memang tabiatnya begitu, Mas………. Mau bagaimana lagi ?” begitu selalu kata Watik, istriku.

“Tapi seharusnya beliau sebagai atasan kan harus bisa menjaga perasaan pegawai-pegawainya,Tik … “ sanggahku.

“Ya…. Idealnya memang begitu….. “ sahut Watik sambil terus memijit kakiku yang salah urat tadi pagi. Kupejamkan mataku menikmati pijatan jemari istriku yang panjang dan lentik. Butiran air mata sebesar-besar biji jagung berwarna bening berloncatan dari keningku lalu mengaliri pelipis dan sebagian meleleh, mencair terasa asin dalam mulutku. Aku mengerang ketika Watik memijit uratku.

“Wong… beliau itu kan pemimpin, atasan…. Seharusnya bisa ngayomi …..”

Tiba-tiba tersengar suara tangis. Si kecil Nuha terjaga dari tidurnya. Serentak Watik bangun dan tergopoh-gopoh menuju kamar si Kecil. Tinggal aku sendiri di kamar menggantung kata-kataku, menyesalkan Pak Karma.

***
Si Hasno juga pernah terkena si pahit lidah -- itu julukan Watik untuk Pak Karma -- . Ketika Hasno sudah hamper tiga tahun lebih menikah, dan belum-belum juga dikarunia anak. Lidah Pak Karma pun tanpa susah payah menjadikan hal itu sebagai bahan olok-olokan.

“Wah, bagaimana ini …… kamu ndak niat punya anak ya Has ? Jangan-jangan, ndak tau caranyaaaaaa…… gimana perlu diajari to ……? Oala….. Has……Has…… Hahahaha….”

Darahku mendidih saat itu, apalagi Hasno. Kulihat kedalam relung matanya yang hitam, ada gelombang kemarahan yang dahsyat, sekaligus kesedihan yang dingin seperti bongkahan es. Hasno saat itu hanya melirik Pak Karma tajam. Lalu pergi meninggalkannya tanpa suara, tanpa rasa hormat. Yang tinggal kini di ruagan itu hanya aku dan seringai Pak Karma dengan lidahnya yang bagi penciumanku berbau busuk., lebih busuk dari bangkai. Tidak seorangpun menginginkan kemandulan. Tidak seorang pun yang tidak menginginkan keturunan. Kemandulan dan ketidakmampuan memiliki keturunan bukan pilihan siapapun. Ia hanya mendatangkan rasa duka, masgul dan ketidaktenangan seprti menunggu-nunggu sesuatu yang tidak pasti, ia ibarat luka yang menganga karena diabetes, yang tak pernah kering itu. Pedih, ngilu sampai ke tulang sumsum. Bagiku kata-kata Pak Karma pada Hasno seperti menggarami luka yang menganga itu.

***
Ku tatap Watik yang masih seibuk dengan mesik ketik tua kami. Jemarinya lentik menari-nari di atas tuts mesin ketik tua itu, sementara matanya yang jernih indah itu terus menatap kertas yang terselip pada mesin itu, seolah-olah jari jemari istriku itu memiliki sepasang mata masing-masing.

Tanpa kusadari jemartiku mencorat-coret kertas dihadapanku, memindahkan lekuk lentik wajah istriku di atas kertas. Mula-mula dahinya yang sempit dan datar, lalu tonjolan lembut alis matanya yang tebal, bulu matanya yang panjang dan matanya yang hitam serta bagian putihnya yang jernih seperti mata Nuha anakku, terus kutelusuri wajah istriku, hidungnya, lekuk bibirnya, dagunya, dan hitam kelam rambutnya.

Ku sodorkan coretan itu persisi dihadapan Watik. Ia terbelalak. Lalu matanya melotot, dan ….. jemarinya menyerbu syaraf-syaraf pinggangku. Aku tergelak-gelak dan baru bisa berhenti ketika kudengar tangisan Nuha. Watik tersenyum dengan rambut berantakan , dia berdiri, lalu lari mendekap Nuha. Meninggalkanku bersama kelenggangan.

Watik, ia sosok istri sebagaimana istri-istri yang lain. Biasa. Sederhana. Tapi punya sesuatu yang barangkali tidak dimiliki istri-istri lain. Ketikan jemarinya di atas tuts mesin ketik mampu membantuku mempertahankan asap dapur agar tetap bisa menngepul. Ia bisa mengetik kapan saja, melamun kapan saja, kadang kerut merut di dahinya bertambah satu jika ia sedang merancang sebuah cerita atau menulis sebuah syair. Ia selalu bersama segelas kopi dan sebuah cermin. Kopi untuk mengganjal mata, cermin untuk merenung, begitu katanya. Aku tidak pernah paham dunia pengarang, ia ibarat dunia antah berantah yang jauh jaraknya seperti permukaan bumi dan langit tanpa batas. Karena pekerjaanku adalah pekerjaan membumi, mengkalkulasi, menambah, mengurangi, membagi, mengali, menghitung uang yang bukan uangku. Sedangkan pekerjaan Watik adalah pekerjaan melangit yang membutuhkan cermin untuk merenung, sedangkan aku cukup membutuhkan kalkulator atau paling tidak simpoa.

Aku cinta Watik. Meskipun kadang-kadang ia seperti gelombang yang membadai tak terukur. Ia bergejolak tanpa permisi, menggulung, dan mengaduk-aduk pantai. Menyeret segala macam benda yang berada di tepian, kemarahan, kesedihan, kejengkelan. Tapi bagaimanapun aku cinta Watik. Ia segala-galanya bagiku setelah Allah dan Rasul-Nya.

Watik menjulukiku si karet gelang. Katanya aku seperti karet gelang yang dipakainya untuk mengikat rambut. Aku memang meregang, menghindar, bersembunyi tiap kali aku marah, sedih, atau kecewa. Tapi aku siap memantul kembali manakala aku selesai dengan masalahku. Ketika aku memantul aku akan memeluk dua orang wanita kekasihku, hangat. Aku akan memamerkan cintaku seperti seorang wiraniaga memamerkan barang dagangannya.

“Kemarin Nur Khasanah menangis mengiba-iba disini, Mas …..” kata Watik sambil lalu. Ia sibuk mengorek-ngorek lubang kecil di dinding kamar kami. Aku yakin lubang itu akan semakin membesar beberapa tahun lagi, karena Watik tidak pernah lupa mengorek-ngoreknya tiap malam.

“Kenapa ?” tanyaku sambil menatap langit kamar. Memperhatikan sepasang cicak yang sedang berkejaran.
“Mas kan tau….., si Nur itu tidak cantik, dan ia menikah dengan Is yang gagak dan tampan ….”

“Iya, lalu kenapa ?” aku tak sabar.

“Kemarin ketika Pak Karma berkunjung ke rumah mereka bersama dengan teman-teman sekantor … “

“Pak Karma menghinanya ?? Wuah…. kenapa tidak dibalas hina saja ?!” teriakku emosionil,jemariku mengepal seperti menahan uap kemarahan agar tidak keluar dari pori-pori kulitku.

“Kata Pak Karma begini Mas….’Gimana Is….kapan ngambil istri lagi ? Apa menunggu peraturan perusahaan membolehkan karyawannya beristri lagi ….? Hahahaha…’”

Tenggorokanku mendadak kering.

“Memangnya si Nur dengar ?” tanyaku memastikan.

“Lha wong si Nur-nya ada disitu juga Mas…. “ celetuk Watik.

Sungguh, aku mengerti jika aku tidak boleh berat sebelah. Kebaikan dan kedermawanan Pak Karma memang tiada tandingannya. Tapi, sungguh, demi Allah aku sangat membenci lidahnya!

Bahkan aku pun pernah menjadi korbannya. Ketika itu Watik baru saja melahirkan Nuha, setelah kami berjuang hampir empat tahun tanpa kepastian. Menunggu-nunggu dengan doa yang selalu terurai panjang diantara sujud-sujud dan air mata harap kami, dan sujud panjang permohonan ampun kami, bayi kecil yang akan menjadi pelita hidup kami tak kunjung datang.

Dan setelah empat tahun puji syukur kepada Allah, alhamdulillah ! Rupanya akhirnya Allah menganggap kami siap mengemban amanah, Nuha kecil lahir dengan selamat. Tapi lidah Pak Karma menyambutnya dengan canda yang menurutku sangat keterlaluan.

“Haha…. Ini dia….., ternyata bisa menghamili juga kamu Wan ?! hahahaha… kukira……,hahahaha….”

Pluk?!

Telapak tangan mungil Watik nemplok di pipiku. Darah memuncrat membasahi lekuk pipiku, Watik menghapusnya dengan sapu tangannya, seekor nyamuk dengan perut gendut berisi darahku dipungutnya dengan telunjuk dari ibu jarinya.

“Melamun sampai begitu, Maassss…, nanti kalau darahnya habis bagaimana?” ledek Watik.

Aku cuma mesem.

“Makasih ya sayang……, kamu cantik deh !” rayuku.

“Alah, gombal!!!!” tepis Watik, menyembunyikan rasa senangnya.

Malam ini kami bahagia, ini serius, tidak gombal.

***
Kriiiing…………., kriiiiiiing…………, kriiiiiing.

“Mas…., telepon!!!” suara Watik nyaring.

“Kamu aja. Aku tanggung nih !” teriakku, sambil terus menyiramkan air di kandang si Jlitheng, burung jalak kesayangan kami berdua. Kusenandungkan Dandang Gulo, tembang kesenangan Jlitheng, biasanya setelah mendengar tembang yang satu ini ia pasti mengoceh riang.

Ruang tamu senyap. Tadi masih kudengar suara Watik meneripa telepon. Tapi sekarang senyap. Aneh. Ini tidak biasa! Terburu-buru aku letakkan kandang Jlitheng ke tempatnya. Kulongok ruang tamu. Kutemui wajah Watik pias. Ia masih menggendong Nuha dengan tangan kiri dan tangan kanannya memegang gagang telepon yang menempel ketat di telinga kanannya. Mata Watik menatap kosong, alisnya berkerut, mulutnya sedikit terbuka.

Cepat-cepat kuraih gagang telepon dari tangan Watik, lalu kutempelkan di telingaku sendiri. Hanya suara dengung yang kudapatkan. Watik masih terlongo-longo. Kutepuk pipi Watik perlahan. Ia menoleh, menatapku, mata beningnya mengerjap beberapa kali, lalu ia menghambur kepelukanku, ia menangis hebat! Watik terluka. Ia begitu lembut, ia seperti sutra. Sekarang ia koyak. Dan siapapun yang mengoyaknya, pasti akan mendapat balasannya !!!

Sejak peristiwa penelponan itu Watik tidak pernah mau menerima telepon. Jika kebetulan aku tidak ada, ia pasti mengecilkan volume dering telepon. Ia trauma. Watik tidak pernah menceritakan kepadaku apa yang didengarnya lewat telepon sehingga ia begitu terguncang. Yang jelas, aku bisa merasakan kagetnya dia, betapa terluka perasaannya, betapa dalam sedihnya. Ia menjadi pendiam.

Ia tidak lagi menyentuh mesin ketik tua milik kami, aku tidak pernah lagi menemuinya bersanding dengan segelas kopi dan cermin. Ia lebih suka berlama-lama membelai Nuha, dan tersentak kaget manakala telepon berdering.

Sejak itu pula, setiap kali selesai sholat. Aku selalu berdoa memohon kepada Allah untuk mengampuni orang yang telah berbuat keji itu, dan mengembalikan Watikku yang dulu, mengembalikan keceriaannya, kemanjaannya, senyumnya yang semanis gula. Semula aku ingin mendoakan agar kebusukannya diadzab Allah, ia di luar sana yang telah mengoyak-ngoyak perasaan dan jiwa Watik, tetapi bukankan memaafkan itu lebih baik dan lebih mulia, meski getar amarak itu rasanya tak terbendung. Aku tahu pasti Allah Maha Membalas semua perbuatan. Biarlah Allah saja yang menghakiminya.

***
Tiga tahun telah berlalu, msiteri penelponan itu tetap tidak terkuak. Watik masih tidak mau menerima telepon, meski sekarang ia mulai mau menulis lagi. Tapi ia tidak pernah mengirimkannya ke majalah. Ia hanya menyimpan begitu saja syair-syair dan cerpen-cerpennya. Sampai saat ini aku tidak menegrti. Aku sudah tidak bekerja lagi di perusahaan milik Pak Karma. Aku tidak tahan lagi dengan lidahnya, selain itu aku ingin mencoba usaha sendiri, yah itung-itung belajar menjadi pengusaha kecil-kecilan.

“Assalamu’alaikum….,” sebuah suara memecah keheningan senja. Aku dan Watik menoleh serempak.

“Subhanallah, Hasno ?! !Wah…..mari-mari…..angin apa yang membawa kamu kemari ? Ayo-ayo…..kita duduk di luar saja ya ?”

“Dibawa angin rebut, Mas…..,” senyum Hasno melebar. Watik beringsut masuk. Menyiapkan minuman.

Kami, aku dan Hasno asyik berbincang. Hidup betul-betul seperti roda, kadang bagian yang di atas harus bergulir ke bawah. Kata Hasno, perusahaan Pak Karma nyaris gulung tikar, karyawannya banyak yang di PHK termasuk Hasno, dan kedatangannya untuk meminta tolong agar bisa bekerja padaku, aku sih setuju-setuju saja kebetulan tenaga penjualan masih kurang. Watik keluar membawa minuman dan menyuguhkannya pada kami.

“Apa kabarnya Pak Karma, Ha?”

“Kasihan Pak Karma, Mas…., nasibnya betul-betul lagi apes. Tapi alhamdulilah syukur kepada Allah, setelah perusahaannya nyaris gulung tikar, lidahnya mulai bisa diatur Mas, ia tidak lagi suka bercanda kelewat batas yang menyakitkan orang lain, waaah pokoknya betul-betul lain Mas! Barangkali ia ketanggor sesuatu atau setelah perusahaannya hampir morat-marit itu ia berusaha introspeksi diri, ya Mas?” tutur Hasno panjang lebar.

Kriiiing………., suara dering telepon memutus kalimat Hasno. Spontan aku menengok ke ruang tamu melirik telepon di sudut ruangan. Lho??!! Tumben Watik mau mengangkat gagang telepon? Lho ?! Ia tertawa-tawa, bercerita panjang lebar dengan seseorang di telepon ? Watik ??!

Begitu ceria ??! Seperti dulu lagi ??! Aku tidak lagi mendengar cerita Hasno sepenuhnya. Sesekali mataku melirik Watik di ruang tamu, yang begitu santai dengan telepon di genggamannya. Tiba-tiba mata kami berdua bersirobok, Watik tersenyum lebar kepadaku. Senyumnya semanis gula.

Disadur dari Buku Kumpulan Cerpen “Cahaya di Atas Cahaya”

0 comments:

Post a Comment